Bismillah.
Imam Bukhari di dalam Sahihnya pada bagian Kitab at-Tauhid membawakan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Di dalam hadits itu terkandung pelajaran berharga bagi setiap da’i, bahwa materi paling penting yang harus diajarkan adalah tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah…” (HR. Bukhari)
Dalam sebagian riwayat hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “…Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka ialah ibadah kepada Allah.” (HR. Muslim)
Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya ibadah kepada Allah hanya bisa diterima jika dilandasi dan dibingkai dengan tauhid. Hakikat tauhid itu adalah memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Artinya, sebesar dan sehebat apa pun suatu amal jika tercampuri syirik menjadi sirna dan sia-sia…
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila datang tafsiran dari sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai makna ayat (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Beliau menafsirkan -sebagaimana masyhur dalam kitab tafsir- maksudnya adalah, “Supaya mereka mentauhidkan-Ku.”
Karena itulah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah -yang disebut-sebut oleh sebagian kalangan sebagai pelopor paham Wahabi [?!]- menyatakan di dalam salah satu risalahnya, bahwa ‘Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai tauhid, sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat kecuali jika disertai thaharah/bersuci…’
Betapa mirip ungkapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini dengan penjelasan seorang ahli tafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat nabi yaitu Abdullah bin ‘Abbas. Sampai-sampai dinukilkan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya perkataan Ibnu ‘Abbas, “Semua ungkapan ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an, maka maksudnya adalah perintah untuk bertauhid.”
Apa gerangan faidah yang bisa kita petik dari contoh ini? Ya, hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di surga- tidaklah membawa ajaran baru yang menyimpang dari jalan para ulama Islam terdahulu. Bahkan apa yang beliau ajarkan bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih; yaitu para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’iin…
Apakah dengan kenyataan semacam ini kita berani mengatakan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas membawa paham Wahabi?! Subhanallah…Apa yang akan anda ucapkan di hadapan Allah ketika anda telah mencoreng muka seorang sahabat yang mulia? Apa yang akan anda ucapkan di hadapan Allah ketika seorang ulama besar dan pembaharu di masanya berjuang keras membela tauhid dan menjelaskan akidah yang murni ini kepada umat sebagaimana jalan para sahabat lantas anda justru mencemoohnya, mengusir para da’i dan kajian tauhid yang menegakkan agama-Nya?!
Sadarlah wahai saudaraku…